Rabu, Desember 23, 2009
Jumat, Desember 11, 2009
Bertameng Insya Allah
Nasrudin membeli kain dan ingin membuat baju. Maka, dia mendatangi tukang jahit yang cukup terkenal di daerahnya.
“Kapan selesai?”
“Insya Allah, seminggu lagi, ya,” jawab tukang jahit.
Seminggu kemudian, Nasrudin datang lagi. Ternyata, kainnya belum jadi apa-apa, bahkan dipotong pun belum.
“Insya Allah, tiga hari lagi, Nas,” kata tukang jahit berusaha meyakinkan Nasrudin.
Meski kecewa, Nasrudin menerima juga. Tepat tiga hari kemudian, didatanginya lagi tukang jahit itu. Ternyata, baju yang ia pesan belum juga jadi.
“Kembalilah dua hari lagi, insya Allah, baju Tuan selesai digarap.”
“Memangnya, pasnya berapa sih kalau Allah nggak ikut campur?” kata Nasrudin jengkel.
“Insya Allah” bagi muslim sejati adalah kesungguhan hati untuk menepati janji. Tetapi, rupanya sekarang insya Allah sudah “bermetamorfosis”. Kalau dulu “insya Allah” adalah tanda kesungguhan, maka sekarang adalah tanda ketidaksungguhan.
“Insya Allah” di zaman ini sudah sangat lekat di lidah kita, tetapi tidak di hati kita. Secara tidak sadar, kita menggunakannya sebagi penutup kemunafikan. Wah, payah bukan?
// Sebuah renungan untuk kita semua.....
Sumber:
Mustamir. 2008. Kaya tapi Miskin. Yogyakarta: DIVA Press.
Mustamir. 2008. Kaya tapi Miskin. Yogyakarta: DIVA Press.
Langganan:
Postingan (Atom)